Selama ini banyak pemikiran yang menghubungkan perekonomian dengan faktor ekonomi. Tapi sedikit yang mau memikirkan hubungan perekonomian dengan faktor non ekonomi seperti kriminalitas ini. Bagaimanapun indahnya faktor perekonomian jika tidak didukung oleh faktor non ekonomi tentulah dunia usaha tidak akan berkembang. Dan perekonomian pun menjadi suram. Sadar atau tidak selama ini Pemerintah atau warga kurang mau memperhatikan pembangunan sektor keamanan di tengah kehidupan. Selama ini faktor keamanan dan pertahanan selalu dikaitkan dengan upaya untuk mempertahankan keutuhan negara dari gangguan luar negeri. Tidak pada kepentingannya bagi kehidupan dalam negeri sehingga keamanan dalam negeri berjalan biasa biasa saja. Keamanan dianggap tidak begitu penting dan kurang diperhatikan dalam kehidupan masyarakat umum.
Saat ini, setelah tingkat kriminalitas berjalan tinggi keadaannya menjadi lain. Masyarakat seperti dibangunkan dari tidur. Kegelisahan pun terjadi. Kelompok pengusaha khususnya merasa keamanan perusahaannya mulai terancam dan ikut memperlemah niatnya untuk membuka atau memperluas kegiatan usahanya. Kecurigaannya terhadap keamanan pun muncul. Dan bagi pengusaha yang memiliki modal kuat mulai berpikir mengalihkan usahanya ke luar negeri yang keamanannya lebih terjamin. Kecurigaan ini juga muncul pada pengusaha domestik. Pemerintah tentu tidak bisa menahannya dan keadaan ini akan memperburuk perekonomian dalam negeri.
Kita harus maklum bahwa tujuan perusahaan itu tidak sekadar mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia lakukan. Tapi juga adalah keamanan dan keselamatan modal dan diri serta keluarganya. Mungkin yang terakhir ini lebih penting dari sekadar mendapatkan keuntungan. Yang terakhir ini merupakan dasar dari kehidupan kelompok pengusaha. Jadi apa yang akan terjadi pada perekonomian Indonesia jika masalah kriminalitas ini berlarut larut tanpa penyelesaian. Kelompok pengusaha dan masyarakat umum sangat mengharapkan agar kriminalitas yang berjalan dapat ditekan dan dilenyapkan.
Keberhasilan pihak keamanan dalam mengungkap dan melenyapkan kriminalitas juga suatu gambaran mengenai tingkat keamanan dan keselamatan yang berjalan. Jika masalah kriminalitas ini tidak terungkap tentu pihak pengusaha berasumsi bahwa Indonesia berada dalam zona tidak aman. Ini pun merupakan indikator kualitas aparat keamanan Indonesia. Jadi pihak keamanan harus bekerja keras untuk mengungkap dan memberantas para pelaku krimanilitas. Masyarakat umum harus ikut membantu pihak keamanan dengan memberikan informasi pelaku seandainya informasi itu dimiliki. Keikutsertaan masyarakat memerangi kriminalitas, dengan memberikan informasi yang dimiliki kepada pihak keamanan mempunyai arti besar bagi memberantas kriminalitas dan kenakalan di tengah masyarakat.
Secara makro kriminalitas akan mempertahankan kepincangan perekonomian Indonesia yang berjalan saat ini. Seperti dimaklumi di Indonesia saat ini terdapat kepincangan antara pertumbuhan sektor keuangan dan sektor riil. Ini berlanjut pada kepincangan pendapatan bagi kelompok masyarakat yang bekerja pada sektor keuangan dengan mereka yang bekerja di sektor riil. Kepincangan ini sudah berjalan lama dan pemerintah belum berhasil untuk menyeimbangkan pertumbuhan ini. Ada juga dampak dari migrasi
Migrasi disebut juga dengan mobilitas penduduk yang definisi nya sama yaitu perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk terbagi dua yaitu bersifat nonpermanen atau sementara misalnya turis baik nasional maupun manca negara, dan ada pula mobilitas penduduk yang bersifat permanen atau menetap di suatu daerah. Mobilitas penduduk permanen disebut migrasi.
Di Indonesia terjadi migrasi antara dari desa ke kota dengan pengharapan penduduk yang berada di desa migrasi ke kota agar mendapatkan kehidupan yang layak dengan bekerja di kota.
Seperti yang diketahui Perdagangan manusia (trafficking) melalui jalur migrasi telah menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional yang marak dalam dekade ini. Dari segi kuantitas, jumlah korban trafficking menunjukkan angka yang mengerikan.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap tahunnya. Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000 manusia telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks dan pasar tenaga kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas, nilai transaksi kejahatan trafficking juga menggiurkan. PBB memperkirakan pemasukan setiap tahun dari industri ini mencapai US$7 milyar. Bahkan trafficking diyakini sebagai sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional, setelah narkotika dan penjualan senjata api.
Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari sepertiga kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa meskipun perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global menunjukkan peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan perempuan merupakan korban terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana memotret kerentanan perempuan dalam persoalan perdagangan manusia?.
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai dari perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun perempuan masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban trafficking. Hal ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization) perempuan sebagai korban dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun perlu dipahami bahwa persoalan perdagangan perempuan termasuk dalam fenomena gunung es, dimana angka yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya adalah pendataan terhadap korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada tindakan pelaporan dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam realitanya persoalan trafficking yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain itu perbedaan persepsi antara para pemangku kepentingan di pemerintahan dalam memaknai trafficking, misalnya antara kepolisian, disnaker, keimigrasian, menjadi persoalan dalam pendefinisian korban trafficking. Seringkali delik hukum yang dikenakan untuk kasus trafficking berhimpitan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Akibat dari berbagai persoalan tersebut. pendataan tentang korban trafficking mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban trafficking yang dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban trafficking juga terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan mengkriminalkan aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai pelaku kriminal karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang illegal. Terkait dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus perempuan calon migran mengetahui atau menyetujui proses migrasi illegal yang terjadi, misalnya pemalsuan usia dan status untuk dokumen keberangkatan. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga migran perempuan yang berangkat secara legal namun dalam perjalanan mereka diselundupkan dan diperdagangkan. Perempuan migran dengan karakteristik inilah yang lebih tepat disebut sebagai korban trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian menjadi hal penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan sebagai bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons persoalan perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerentanan (vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya dikarenakan konsekuensi dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan perempuan sebagai korban trafficking disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya terkait dengan adanya praktek-praktek sosial budaya di masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga menjadikan mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang terjadi di berbagai negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para perempuan sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi mobilitasnya. Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak berpendidikan.
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan sebagai korban trafficking dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan sebenarnya bukanlah isu baru. Isu ini telah berkembang paada awal era class-divided society. Pada era yang ditandai dengan perkembangan kapitalisme global, suatu sistem yang mendasarkan pada produksi komoditas, menjadikan persoalan perdagangan perempuan semakin marak. Persepsi bahwa perempuan sebagai komoditi semakin menguat seiring dengan maraknya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan komoditas seksual yang dapat diperjualbelikan dengan dipekerjakan sebagai model, bintang film dan wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya industri seks, prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung milyaran dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul seiring dengan filosofi laissez-fair dan neoliberalisasi yang dikandung oleh globalisasi. Filosofi tersebut menekankan pada konsep marketisasi, konsumerisme dan individualisme sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersilkan dan dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tersebut menekankan penggunaan femininitas dan seksualitas untuk meraup keuntungan. Dengan tujuan membayar hutang, beberapa negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika didorong oleh organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengembangkan berbagai industri yang menstimulasi perkembangan industri seks tersebut. Hal tersebut menunjukkan komodifikasi perempuan melalui prostitusi telah menjadi strategi pembangunan industri turisme dan hiburan di beberapa negara.
0 comments:
Post a Comment